Selasa, 28 Desember 2010

STEWARDSHIP THEORY


I.     PENDAHULUAN

        persepsi yang melekat pada masyarakat secara umum terhadap ilmu akuntansi nampaknya masih pada tatanan konsep fundamental yaitu akuntansi sebagai sebuah proses mencatat, pelaporan financial, pemeriksaan (auditing) dalam ruang lingkup aktifitas organisasi yang didominasi oleh organisasi profit. Persepsi ini cukup beralasan jika berangkat dari terminologi teoritis yang diajukan oleh masyarakat akuntansi (dalam hal ini akademisi dan praktisi profesi akuntansi), sebagaimana yang dikemukakan institusi ataupun para pakar akuntansi seperti American Certified Public Accountant (AICPA) sebuah organisasi profesi akuntan di USA, Accounting Principles Board (APB), True Blood Comittee, A Statement Of Basic Accounting Theory (ASOBAT), Belkoui (2000), Hendrikson (1996), Sofyan Syafri (1994), Bambang Sudibyo (1994) dan para pakar lainnya.
            Dewasa ini akuntansi sudah merambah ke berbagai disiplin ilmu antara lain seperti psikologi, sosiologi, manajemen, teknologi informasi, dan sebagainya, hal ini disebabkan perkembangan lingkungan bisnis yang demikian pesat dibidang teknologi dan perubahan di segala aspek kehidupan dengan isu global ikut turut mendorong akuntansi memasuki dimensi lain dari disiplinnya. Perkembangan ilmu akuntansi belakangan ini tidak hanya terpaku pada ilmu-ilmu ekonomi dan manajemen semata, dengan demikian akuntansi terus berusaha menyiapkan diri dan mengantisipasi berbagai tantangan dan kebutuhan yang dituntut oleh pemakainya (user) (Kholis,2001). Berangkat dari perkembangan ilmu akuntansi yang tidak hanya terpaku pada ilmu-ilmu ekonomi dan manajemen semata, makalah ini memberikan sebuah uraian (description) dan menampilkan kajian tentang konsep pengelolaan organisasi yang ditinjau dalam perspektif akuntansi manajemen dengan pendekatan Stewardship Theory. Walaupun fokus dari Stewardship Theory adalah harmonisasi antara pemilik modal (principles) dengan pengelola modal (steward) dalam mencapai tujuan bersama, tetapi secara implisit merefleksikan bagaimana akuntansi membangun sebuah konstruk pola kepemimpinan dan hubungan komunikasi shareholder dan manajemen, atau dapat juga terjadi antara top manajemen dengan jajaran manajemen lain dibawahnya dalam sebuah organisasi perusahaan dengan mekanisme situasional yang mencakup filosofis manajemen dan perbedaan budaya organisasi, dan kepemimpinan dalam pencapaian tujuan bersama tanpa menghalangi kepentingan masing-masing pihak.
            Stewardship Theory lebih banyak didasarkan pada teori psikologi dan sosiologi, dimana para manajer dimotivasi untuk berbuat dan berperilaku secara kolektif untuk kepentingan organisasi, sehingga kerjasama seluruh anggota organisasi merupakan ciri utama dari stewardship. Para ahli teori stewardship mengasumsikan bahwa adanya hubungan yang kuat antara kepuasan dan kesuksesan organisasi. Kesuksesan organisasi menggambarkan maksimalisasi kekayaan para pemegang saham (pemilik). Kesuksesan organisasi juga akan memaksimumkan utilitas kelompok manajemen, dan maksimalisasi utilitas kelompok ini pada akhirnya akan memaksimumkan kepentingan individu yang ada dalam kelompok organisasi tersebut.
            Studi ini memberikan tiga kontribusi pada riset stewardship sebelumnya. Pertama, memberikan deskripsi yang lebih detail dari Stewardship Theory, dalam hal bahasa, definisi dan unit analisis. Kedua, memperluas mekanisme psikologi dan situasional yang memotivasi steward untuk proorganisasi. Ketiga, tidak mengasumsikan bahwa Agency Theory salah dan inferior daripada Stewardship Theory (sebagaimana dinyatakan oleh peneliti sebelumnya)

II. PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian diatas dapat diambil pokok permasalahan sebagai berikut:
  1. Bagaimana perbedaan antara Agency Theory dan Stewardship Theory dalam akuntansi manajemen?
  2. Bagaimana model pengambilan keputusan prinsipal dalam memilih Agency Theory atau Stewardship Theory?

III. PEMBAHASAN

A. Perbedaan antara Agency Theory dan Stewardship Theory
   1.   AGENCY THEORY
            Agency theory menguraikan hubungan antara pihak prinsipal dan agen, dimana prinsipal adalah pihak yang memberikan mandat kepada pihak agen. Prinsipal mendelegasikan tanggung jawab pengambilan keputusan kepada agen dimana hak dan kewajiban kedua belah pihak diuraikan dalam suatu perjanjian kerja yang saling menguntungkan.
            Inti dari teori agensi adalah asumsi sebagai “manusia” yang dapat ditelusuri pada 200 tahun riset ekonomi. Model “manusia” yang mendasari teori agensi adalah bahwa aktor rasional, merupakan individu yang memaksimalkan utilitasnya (Jensen & Meckling, 1976). Keduanya agen dan prinsipal dalam teori agensi bertujuan mendapatkan sebanyak mungkin utilitas dengan pengeluaran terakhir yang mungkin.
            Perusahaan modern menciptakan pemisahan antara kepemilikan dan pengawasan kekayaan (Berlee & Means, 1932). Pemilik menjadi prinsipal ketika mereka mengkontrak eksekutif untuk me-manage perusahaannya. Sebagai agen, eksekutif secara moral bertanggungjawab memaksimalisasikan utilitas pemegang saham. Eksekutif menerima status agen karena anggapan pada peluang memaksimalkan utilitasnya. Pada perusahaan modern, agen dan prinsipal dimotivasi oleh kesempatan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Prinsipal menginvestasikan kekayaannya di perusahaan dan mendesain sistem yang kuat sebagai cara memaksimalkan utilitasnya. Agen menerima tanggung jawab me-manage investasi prinsipal, karena anggapannya terhadap kemungkinan peluang perolehan utilitas yang lebih besar daripada peluang lain.
            Jika fungsi utilitas dari mementingkan diri sendiri agen dan prinsipal berkesuaian, tidak ada masalah; keduanya agen dan prinsipal akan menerima kenaikan utilitas individualnya. Cost of agency terjadi ketika kepentingan prinsipal dan agen berbeda. Peluang yang ada memungkinkan agen akan secara rasional  memaksimalkan utilitas yang dimilikinya. Walsh & Seward (1990: 44) berargumen bahwa “jika manager perusahaan berkubu pada kepentingan mereka sendiri dengan semata-mata bertujuan menjamin kekuatannya, prestis, dan keuntungannya, organisasi kemungkinan kehilangan posisi pada lingkungan yang kompetitif dan akan gagal.” Jika mekanisme kontrol yang diusulkan oleh agen secara teoritis gagal, mekanisme pengawasan eksternal akan mengkontrol self-serving manager (Walsh & Seward, 1990). Karena biaya mekanisme eksternal pada utilitas prinsipal lebih besar, mekanisme internal umumnya yang dipilih (Walsh & Seward, 1990).
            Untuk melindungi kepentingan pemegang saham, meminimalkan biaya agensi dan menjamin kesesuaian kepentingan agen-prinsipal, teori agensi memberikan berbagai mekanisme. Dua mekanisme yang diterima adalah alternatif skema kompensasi eksekutif dan struktur yang kuat (antara lain:Demsetz & Lehn, 1985; Jensen & Meckling,1976). Skema insentif financial menyediakan reward dan punishment yang bertujuan menyelaraskan kepentingan agen dan prinsipal. Jika manajer menerima kompensasi yang menjadi subyek kesuksesan tujuan pemegang saham (misal: long term reward tergantung pada kinerja perusahaan), mereka akan menjadi termotivasi untuk berperilaku dengan cara konsisten dengan kepentingan pemegang saham. Mekanisme  kedua bertujuan membawa perilaku agen pada pelurusan dengan kepentingan prinsipal adalah struktur yang kuat. Dewan direktur menjaga potensi self-serving manager dengan mengecek pelaksanaan audit dan evaluasi kinerja. Dewan mengkomunikasikan tujuan pemegang saham dan kepentingannya pada manajer dan memonitor mereka untuk menjaga biaya agensi selalu dalam pengawasan. Mekanisme pengawasan yang kuat adalah ditentukan, karena teori agensi mengasumsikan bahwa kepentingan agen-prinsipal dapat berbeda dan peluang yang diberikan pada agen akan memaksimalkan utilitas individualnya pada biaya agensinya.
            Agency Theory tidak menspesifikasikan total kontrol pada agen. Jika berupa total kontrol, kemudian agen tidak leluasa dan perusahaan akan dikuasai seorang diri. Hal yang pokok dari teori agensi adalah bahwa prinsipal mendelegasikan otoritasnya pada agen untuk bertindak atas namanya. Pendelegasian ini memberikan agen peluang membangun utilitasnya pada biaya utilitas prinsipalnya (kekayaan), demikian, teori agensi menspesifikasikan pada kondisi kontrol intermediate, yang mana pertama pendelegasian dan kemudian kontrol untuk meminimalkan potensi penyelewengan  pendelegasian (Jensen & Meckling,1976).
            Sebelumnya, Stewardship Theory terfokus pada kemungkinan struktur pada manager yang lebih tinggi (Donaldson and Davis, 1989, 1991, 1994; Fox & Hamilton, 1994). Sebagai contoh, Donalson dan Davis (1991) berargumen bahwa bagi CEO yang seorang stewards, tindakan mendukung organisasi adalah fasilitas terbaik ketika struktur perusahaan kuat memberikan mereka otoritas yang tinggi dan keleluasaan. Situasi ini dicapai lebih riil jika kursi CEO pada dewan direktur. Struktur ini akan dipandang sebagai disfungsi pada teori agency model of man. Bagaimanapun, pada model stewardship of man, stewards memaksimumkan utilitasnya sebagimana mereka mencapai tujuan organisasi daripada tujuan self servingnya. Kursi CEO adalah tanggung jawab mendua bagi nasib perusahaan dan memiliki power untuk menentukan strategi tanpa ketakutan membatalkan dengan kursi diluar dewan. Demikian teori stewardship terfokus pada struktur yang memfasilitasi dan memberdayakan daripada memonitor dan mengkontrol.
            Keunggulan yang diberikan stewardship pada prinsipal, mengapa tidak selalu  hubungan sebagai steward, daripada hubungan antar agen? Jawabannya terletak pada resiko yang prinsipal bersedia mengasumsikannya. Kontrak yang kuat antara pemilik dan eksekutif, pemilik harus memutuskan seberapa besar resiko yang mereka bersedia diasumsikan dengan kekayaannya. Menolak resiko, pemilik akan lebih mungkin menerima bahwa eksekutif adalah bekerja untuk kepentingan pribadi, dan akan menerima pola hubungan agensi yang kuat. Implementasi mekanisme stewardship yang kuat pada agen akan sesuai dengan analogi pada pembentukan  “kandang ayam di lingkungan srigala”. Penerimaan biaya agensi dapat dipandang sebagai biaya yang diperlukan untuk jaminan utilitas prinsipal terhadap peluang resiko bagi eksekutif. Dari perspektif ini, pertanyaan yang lebih baik barangkali mengapa pemilik akan mengambil resiko penerimaan stewardship yang kuat?
            Sebelumnya, riset empiris berusaha untuk menvalidasi apakah agency theory atau Stewardship Theory sebagai “satu cara terbaik” untuk perusahaan yang kuat, berasumsi bahwa semua manager agen atau stewards. Hasil studi ini menghasilkan penemuan yang tidak jelas; antara keduanya Agency dan Stewardship Theory dalam menjelaskan manajemen (Donaldson & Davis,1994). Sebagai contoh, beberapa riset menemukan bahwa agensi memahamkan kepemimpinan dewan yang independen (sebuah jabatan non executive board) adalah berhubungan erat dengan tingginya performance perusahaan (Berg & Smith, 1978; Daily & Dalton, 1994: Rechner & Dalton,1991). Peneliti lain menemukan bahwa stewardship eksekutif pada kursi dewan signifikan dengan lebih tingginya performace perusahaan (misal: Donaldson & Davis,11989,1991; Finkltein & D’Aeni,1994). Yang lain masih menyarankan tidak ada perbedaan signifikan dalam performance perusahaan antara eksekutif diluar kursi dewan (Chaganti, Mahajan & Sharma, 1985; Molz, 1988). Bukti-bukti empiris cenderung sama tidak jelasnya pada dimensi kekuatan yang lain (Donaldson & Davis,1994). Dukungan untuk teori agensi dan stewardship menyarankan perlunya merekonsiliasi  perbedaan ini.

2.   STEWARDSHIP THEORY
            Teori stewardship adalah teori yang menggambarkan situasi dimana para manajer tidaklah termotivasi oleh tujuan-tujuan individu tetapi lebih ditujukan pada sasaran hasil utama mereka untuk kepentingan organisasi, sehingga teori ini mempunyai dasar psikologi dan sosiologi yang telah dirancang dimana para eksekutif sebagai steward termotivasi untuk bertindak sesuai keinginan prinsipal, selain itu perilaku steward tidak akan meninggalkan organisasinya sebab steward berusaha mencapai sasaran organisasinya. Teori ini didesain bagi para peneliti untuk menguji situasi dimana para eksekutif dalam perusahaan sebagai pelayan dapat termotivasi untuk bertindak dengan cara terbaik pada principalnya (Donaldson dan Davis, 1989, 1991).
            Pada Stewardship Theory, model of man ini didasarkan pada pelayan yang memiliki perilaku dimana dia dapat dibentuk agar selalu dapat diajak bekerjasama dalam organisasi, memiliki perilaku kolektif atau berkelompok dengan utilitas tinggi daripada individunya dan selalu bersedia untuk melayani. Pada teori stewardship terdapat suatu pilihan antara perilaku self serving dan pro-organisational, perilaku pelayan tidak akan dipisahkan dari kepentingan organisasi adalah bahwa perilaku eksekutif disejajarkan dengan kepentingan principal dimana para steward berada. Steward akan menggantikan atau mengalihkan self serving untuk berperilaku kooperatif. Sehingga meskipun kepentingan antara steward dan principal tidak sama, steward tetap akan menjunjung tinggi nilai kebersamaan. Sebab steward berpedoman bahwa terdapat utilitas yang lebih besar pada perilaku kooperatif, dan perilaku tersebut dianggap perilaku rasional yang dapat diterima.
            Mengacu pada teori stewardship, perilaku steward adalah kolektif, sebab steward berpedoman dengan perilaku tersebut tujuan organisasi dapat dicapai. Misalnya peningkatan penjualan atau profitabilitas. Perilaku ini akan menguntungkan principal termasuk outside owner (melalui efek positif yang ditimbulkan oleh laba dalam bentuk deviden dan shareprices), hal ini juga memberikan manfaat pada status manajerial, sebab tujuan mereka ditindak lanjuti dengan baik oleh steward. Para ahli teori stewardship mengasumsikan bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara kesuksesan organisasi dengan kepuasan principal. Steward melindungi dan memaksimumkan shareholder melalui kinerja perusahaan, oleh karena itu fungsi utilitas steward dimaksimalkan.
            Steward yang dengan sukses dapat meningkatkan kinerja perusahaan akan mampu memuaskan sebagian besar organisasi yang lain, sebab sebagian besar shareholder memiliki kepentingan yang telah dilayani dengan baik lewat peningkatan kemakmuran yang diraih organisasi. Oleh karena itu, steward yang pro organisasi termotivasi untuk memaksimumkan kinerja perusahaan, disamping dapat memberikan kepuasan kepada kepentingan shareholder.
            Penjelasan ini tidak mengimplikasikan bahwa steward memiliki kebutuhan untuk survive. Jelasnya, steward harus memiliki penghasilan untuk tetap hidup. Perbedaan antara agen dan prinsipal adalah bagaimana kebutuhan tersebut dapat bertemu. Steward mewujudkan tarik menarik antara kebutuhan personal dan tujuan organisasi dan kepercayaan bahwa dengan bekerja untuk organisasi, dan kemudian dikumpulkan, maka kebutuhan personal akan bertemu. Di lain pihak kesempatan steward dibatasi oleh adanya persepsi bahwa utilitas yang dapat diperoleh dari orang yang berperilaku pro-organisasional akan lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang bersikap individualistik dan berperilaku self serving. Steward percaya bahwa kepentingan mereka akan disejajarkan dengan kepentingan perusahaan dan pemilik. Dengan demikian kepentingan steward, motivasi untuk memperoleh utilitas ditujukan langsung ke organisasi dan tidak untuk tujuan personel.
            Sebelumnya para penganut teori stewardship menitikberatkan pada suatu struktur yang memungkinkan untuk manajer-manajer pada tingkat yang lebih tinggi (Donalson dan Davis, 1989, 1991, 1994; Fox dan Hamilton, 1994) sebagai contoh Donalson dan Davis (1991) berpendapat bahwa CEO yang bertindak sebagai steward akan mempunyai sikap pro-organisasional pada saat struktur manajemen perusahaan memberikan otoritas dan keleluasaan yang tinggi. Struktur tersebut memperlihatkan adanya disfungsional model of man dari teori agensi. Tetapi model of man pada Stewardship Theory akan memaksimasi utilitas steward untuk mencapai tujuan organisasional dibandingkan dengan tujuan untuk diri sendiri.

B.  Faktor-Faktor yang membedakan antara Agency Theory dan Stewardship Theory
1.      Faktor Psikologi
Dalam hubungannya dengan faktor psikologi, perbedaan mendasar antara Agency Theory dan Stewardship Theory dapat ditelusuri pada perbedaan model of man. Menurut Agency Theory, manusia adalah dasar atau akar dalam rasionalitas ekonomi. Pandangan atas economic man sebagai sesuatu penyederhanaan mengenai tingkah laku manusia atas suatu argumentasi more complex and humanistic model of man, dapat memperjelas adanya hubungan dengan teori organisasi (Argyris, 1973, Simon 1957). Argyris mendukung the model of man yang dikarakteristikkan sebagai self-actualizing man. Model ini didasari atas suatu pendapat bahwa manusia mempunyai kebutuhan untuk berkembang sesuai kebutuhan melebihi dari keadaan sekarang dan akan mencapai level yang paling tinggi dengan sukses dan diasumsikan secara ekonomi manusia dipandang sebagai orang yang dibatasi oleh kemampuan untuk mencapai full potensial.
Perbedaan khusus yang relevan antara Agency Theory dan Stewardship Theory difokuskan pada motivasi, identifikasi dan penggunaan power dalam konteks hubungan hirarki.
a.   Motivasi
Perbedaan utama antara Agency Theory dan Stewardship Theory difokuskan pada motivasi ekstrinsik dan intrinsik. Agency Theory difokuskan pada ektrinsic reward: nyata, komoditi yang dapat dipertukarkan dan mempunyai ukuran nilai pasar. Ekstrinsik reward didasarkan pada sistem penghargaan yang menggambarkan mekanisme pengendalian pada teori agency.
Stewardship Theory difokuskan pada intrinsic reward (penghargaan yang hakiki) yang tidak dapat diubah dengan mudah. Penghargaan ini merupakan kesempatan untuk meningkatkan pertumbuhan, prestasi, asosiasi, dan aktualisasi diri. Pada titik terendah dalam hubungan stewardship pada hakikatnya memotivasi untuk bekerja keras untuk kepentingan organisasi dengan penghargaan yang tidak nyata. Stewardship lebih difokuskan pada tingginya kebutuhan pada hierarki Maslow (1970), kebutuhan untuk berkembang (Alderfer, 1972) atas prestasi dan kebutuhan untuk berkumpul oleh Mc Clelland (1975) dan Mc Cregor (1906). Dalam hubungannya dengan motivasi pekerja, model karakteristik jabatan Hockman dan Oldhan (1975,1976,1980) mengemukakan bahwa ada tiga keadaan yang bersifat psikologi yaitu pengalaman memahami pekerjaan, pengalaman bertanggungjawab atas hasil, dan pemahaman atas hubungan yang nyata. Sebagai penengah hubungan antara karakteristik tugas dan motivasi kerja internal. Untuk mencapai fasilitas yang layak maka job perlu didesain kembali untuk menambah keanekaragaman, keahlian, identifikasi tugas yang sesuai, kemandirian dan feedback. Semua faktor ini berhubungan menambah kesempatan untuk berkembang dan bertanggungjawab dari pekerjaan. Model ini pada motivasi kerja adalah konsisten dengan asumsi bahwa Stewardship Theory menambah motivasi kerja internal dan berperan penting untuk meningkatkan tingkat kinerja yang sama baiknya dengan kepuasan kerja.
      Berdasarkan teori tersebut, dapat dikembangkan dua proposisi yaitu :
Proposisi 1       : Orang yang dimotivasi oleh order kebutuhan yang  lebih tinggi akan lebih suka menjadi steward dalam hubungan steward-principal, daripada orang yang tidak termotivasi oleh order kebutuhan yang lebih tinggi.
Proposisi 2       : Orang yang dimotivasi oleh faktor intrinsik akan lebih suka menjadi steward dalam hubungan steward-principal, daripada orang yang dimotivasi oleh faktor ekstrinsik.

b.                  Identifikasi
Identifikasi terjadi dimana manajer menetapkan sendiri dirinya sebagai anggota dalam organisasi khusus sesuai dengan misi, visi dan tujuan organisasi. Melalui identifikasi suatu organisasi menjadi eksistensi dari struktur psikologi steward (Borwn, 1969). Identifikasi memungkinkan manajer seolah-olah memperoleh penghargaan untuk kesuksesan organisasi dan pengalaman frustasi akan kegagalan organisasi, hal ini dapat menambah hubungan kerja.
Beberapa penulis mempunyai pendirian bahwa manajer yang diidentifikasi dengan atribut organisasi, kesuksesan organisasi, dan atribut ini memberikan kontribusi pada self-image, dan self concept. Ini menggambarkan bahwa identifikasi sosial konsisten dengan Stewardship Theory.
Seorang manajer dapat diidentikan dengan orang yang bekerja untuk mencapai tujuan organisasi, memecahkan masalah dan mengatasi rintangan, mencegah dan menyelesaikan tugas. Dan beban yang diberikan kepadanya dengan sukses (Bass,1960). Individu-individu diidentikkan dengan organisasi, mereka lebih siap diajak bekerja sama, altruastik dan spontan berperilaku sebagai bagian dari organisasi yang tidak terlalu mengharapkan imbalan (Mowday, Potter dan Steer, 1982). Oleh karena itu manajer dapat memotivasi dan memberikan wewenang untuk pelaksanaan pekerjaan, dengan menggunakan inisiatif untuk memajukan organisasi dan prinsipalnya.
Konsepnya diatas diidentikan sebagai komitmen organisasi, yaitu adanya individu-individu tangguh dan termasuk dalam unsur utama organisasi (Porter, dkk, 1974). Mayer dan Schoorman (1992), menyatakan bahwa karakteristik komitmen organisasi sebagai suatu bangunan multidimensi yang berisi pengulangan komitmen yang disebut “belief individu and acceptance of goal of the organization”. Dalam teori agency nilai komitmen tidak memiliki nilai ekonomis dan tidak relevan untuk dijadikan sebagai exchange agreement.
Berdasarkan teori tersebut diajukan dua proposisi :
Proposisi 3  :  Orang yang mempunyai identifikasi tinggi dengan organisasi akan lebih suka menjadi steward hubungan steward-principal, daripada orang yang mempunyai identifikasi rendah dengan organisasi.
Proposisi 4   :   Orang yang tinggi dalam komitmen nilai akan lebih suka menjadi steward dalam hubungan steward-principal, daripada orang yang rendah dalam komitmen nilai.

c.                   Penggunaan Kekuasaan
            Kekuasaan aspek penting yang menghubungkan antara prinsipal dan manajer. Manajer menerima kepuasan dari dan oleh motivasi dengan menggunakan kekuasaan (Mc Clelland, 1970). Menurut Mc Celland dan Burham (1976), motif kekuasaan adalah daya gerak psikologi yang diperlukan untuk prestasi dan dapat mendukung tujuan organisasi.
            Sistem pemberian intensif dan pengakuan atas wewenang yang diberikan merupakan gabungan prinsip yang diperlukan dalam pengawasan. Kekuatan personal melekat pada individu dalam konteks hubungan antara individu, yang tidak dipengaruhi oleh posisinya. Keahlian dan kelebihan kekuasaan merupakan karakteristik personal power, dimana kelebihan suatu individu dalam bekerja dibandingkan dengan individu lainnya. Kekuatan personal merupakan dasar yang mempengaruhi dasar pertanggungjawaban hubungannya dengan prinsipal.
Berdasarkan teori tersebut diajkan proposisi :
Proposisi 5   :   Orang yang lebih suka menggunakan personal power sebagai dasar untuk mempengaruhi lainnya akan lebih suka menjadi steward dalam hubungan steward-prinsipal, daripada orang yang menggunakan power institusional.

2.   Faktor Situasional
            a.  Filosofi Manajemen
            Filosofi manajemen yang digunakan dalam hubungannya dengan Stewardship Theory adalah filosofi manajemen yang berorientasi pada keterlihatan. Filosofi ini konsisten dengan Argyris (1973) yang menyatakan bahwa desain organisasi yang didasarkan pada asumsi ekonomi menciptakan pemenuhan sendiri yang diperkirakan menghasilkan perilaku yang konsisten dengan asumsi. Jika mengikuti alasan ini, evolusi manajemen yang berorientasi keterlibatan adalah lebih dominan dalam model yang mengarah pada timbulnya perilaku yang lebih konsisten dengan Stewardship Theory.
Proposisi 6     :    Orang yang ada dalam situasi yang berorientasi keterlibatan lebih mungkin menjadi steward dalam hubungan steward prinsipal dari pada orang ada dalam situasi yang berorientasi pengendalian (control).

b.  Budaya
            Paham individual - kolektif merupakan aspek budaya yang berpengaruh dalam memilih hubungan agen dan stewardship. Paham individual karakteristiknya ditekankan pada tujuan-tujuan personal diluar tujuan kelompok. Paham kolektif ditekankan pada tujuan-tujuan personal subordinat pada tujuan-tujuan kolektif. Dalam budaya kolektif, seorang merupakan bagian anggota dari suatu group misalnya keluarga, universitas, organisasi. Sikap individual melihat pertentangan sebagai kesempatan untuk melakukan pekerjaan dan komunikasi diadakan secara langsung, dan berorientasi jangka pendek, tingkah laku bisnis tidak tergantung pada hubungan personal, memakai analisis cost benefit (model ekonomi) untuk mengevaluasi  bisnis dan mengurangi resiko pada kontrak bisnis.
Proposisi 7    :     Seseorang dalam budaya kolektif lebih suka untuk mengembangkan relationship steward prinsipal dari pada orang yang berada dalam budaya individualistic.

            c.   Rentang Kekuasaan
            Secara umum didefinisikan sebagai perluasan powerfull anggota-anggota institusi dan organisasi dimana suatu negara mengharapkan dan menerima distribusi kekuasaan yang tidak seimbang. Dalam budaya yang pasti, terdapat perbedaan kekuasaan antara anggota yang lebih besar tetapi mereka menerima dan toleran terhadap perbedaan budaya tersebut. Budaya rentang kekuasaan yang tinggi cocok  digunakan untuk mengembangkan hubungan keagenan karena budaya seperti ini mendukung dan melegitimasi ketidaksamaan inherent antara prinsipal dan agen. Sedangkan budaya rentang kekuasaan rendah cocok digunakan untuk mengembangkan hubungan leadership karena anggotanya menempatkan nilai yang lebih besar pada kesetaraan dari sesuatu yang esensial pada prinsipal dan manager.
Proposisi 8     :       Seseorang dalam budaya rentang kekuasaan rendah lebih memungkinkan untuk mengembangkan relationship steward prinsipal daripada orang yang berada pada budaya rentang kekuasaan tinggi.

Perbandingan Teory Agency dan Teori Stewardship


Teori Agency
Teori Stewardship
Model manusia
Perilaku
Berorientasi ekonomi
Melayani diri sendiri
Aktualisasi diri
Melayani orang lain.
Mekanisme psikologi :
§ Motivasi


§ Perbandingan Sosial
§ Identifikasi

§ Kekuasaan

Kebutuhan yang lebih rendah (psikologi, keamanan, ekonomi)
Ekstrinsik
Manajer
Menilai Komitmen Rendah (legitimasi, memaksa, reward)
Institusional

Kebutuhan yang lebih tinggi (pertumbuhan, prestasi, aktualisasi diri)
Intrinsik
Prinsipal
Menilai Komitmen Tinggi
(pakar, referen)
Perseorangan
Mekanisme situasional :
§ Filosofi manajemen
§ Orientasi resiko
§ Kerangka waktu
§ Tujuan
§ Perbedaan Budaya


Berorientasi pengawasan
Mekanisme kontrol
Jangka pendek
Pengawasan biaya
Individualis
Rentang kekuasaan tinggi

Berorientasi partisipasi
Kepercayaan
Jangka panjang
Perbaikan kinerja
Kebersamaan
Rentang kekuasaan rendah

            C.  Pilihan antara Hubungan Agency dan Stewardship
            Telah disajikan suatu model yang menduga bahwa ada faktor psikologis dan situasional yang mempengaruhi individu dalam pendekatan hubungan agency dan stewardship. Banyak penulis berpendapat bahwa manusia lebih menyukai pertumbuhan, tanggungjawab dan aktualisasi diri dan berpihak pada filosofi manajemen yang berorientasi pada partisipasi dan kepercayaan sebagai suatu mekanisme untuk berhubungan dengan resiko. Meskipun motivasi ini bersifat universal – ada pada setiap orang, masalah tersebut merupakan suatu model yang mana karakteristik psikologis dan situasional dari principal dan manajer merupakan antiseden (bagian yang mendahului) dalam memilih antara hubungan agency dan stewardship.
            Pilihan antara hubungan kegiatan dan stewardship sama dengan keputusan yang merupakan dilema. Pertama, keputusan dibuat oleh pihak-pihak yang ada dalam hubungan tersebut. Kedua, karakteristik situasional berpengaruh terhadap pilihan. Dan ketiga, harapan bahwa masing-masing pihak mempunyai yang lain akan mempengaruhi pilihan.
Proposisi    : Jika suatu hubungan stewardship yang timbal balik ada, maka kinerja potensial dapat dimaksimalkan, sebaliknya jika hubungan agency yang ada, biaya potensial dapat diminimalkan dan jika pilihan motivasinya campuran, pihak yang memilih stewardship akan dikhianati dan pihak yang memilih aktivitas adalah pihak-pihak yang mencari kesempatan.          
Sifat dari dilema tersebut diilustrasikan pada gambar di bawah ini :

                                                Model Pilihan Principal-Manager

                                                            Pilihan Prinsipal

                                       Agen                       Steward

Agen Bertindak Oportunistik

Prinsipal Marah
Prinsipal Dikhianati
2
 

Minimalisir Biaya
Potensial

Hubungan Agensi Bersama
1
 
Agen



Pilihan
4
Memaksimalkan
 Kinerja Potensil

Hubungan
Stewardship Bersama

 
3
Prinsipal Bertindak Oportunistik

Manajer Frustasi
Manajer Dikhianati

 
Manajer



Steward




Keterangan : 
No.1.   Ketika prinsipal ataupun manajer memilih hubungan agency, hasilnya adalah hubungan prinsipal – agency yang nyata yaitu mencapai harapan masing-masing. Hubungan agency didesain untuk meminimalkan kerugian yang potensial timbul dari masing-masing pihak. Dengan demikian kedua pihak mempunyai kesamaan harapan dari hubungan tersebut dan biaya terkontrol.

No.2    Jika principal memilih hubungan steward dan manajer memilih hubungan agency maka manajer akan bertindak mencari keuntungan sendiri dan mengambil manfaat dari principal. Seorang manajer yang berprofil psikhologis demikian akan berperilaku layaknya “serigala dalam kandang ayam” dan akan mencari kepuasan sendiri dari organisasi atau principal. Situasi tersebut tercipta karena principal memberi kekuasaan agen bekerja hanya untuk melayaninya. Dengan demikian, profit secara psikologis dari manajer keluar dari keharmonisan yang diciptakan principal. Principal akan merasa dikhianati dan marah, dan pada akhirnya memperketat pengawasan, menarik dari situasi tersebut, atau berusaha memberhentikan manajer. Saat dua pihak individual terlibat, pilihan yang tepat adalah hubungan agency. Namun jika beorientasi pada kebersamaan, saat masing-masing pihak menyatukan tujuan pribadinya, maka hubungan stewardship yang dipilih.

No.3    Dilema terjadi karena adanya kemungkinan perbedaan pilihan dari masing-masing pihak. Jika prinsipal memilih hubungan agency dan manajer memilih hubungan stewardship, hasilnya akan menimbulkan rasa frustasi bagi manajer yang merasa dikhianati principal. Steward diawasi seolah-olah mereka agent, mereka tidak dapat menikmati tipe imbalan internal yang diinginkan (contohnya pertumbuhan, pencapaian, atau aktualisasi diri) dan pada akhirnya mereka berperilaku anti terhadap organisasi (Argryls, 1964).

No.4.   Principal dan manajer memilih hubungan stewardship, hasilnya adalah hubungan principal – steward yang nyata didesain untuk memaksimalkan kinerja potensial dari kelompok.




D.    Dasar-Dasar Perilaku Akuntansi Stewarship dan Usulan Program Penelitian : Apakah yang Dimaksud dengan Akuntabilitas?
            Umumnya dipercaya bahwa akuntabilitas membedakan sistem informasi akuntansi dengan sistem informasi dari tipe lainnya. Sebuah sistem informasi akuntansi melaporkan dan mengklasifikasikan perubahan yang dibuat dalam stewardship dari aset-aset tertentu. Sekali dicatat, informasi ini dibuat oleh publik, pemegang kekuasaan (steward) yang mempertanggung-jawabkan kegiatannya. Dalam model agency, akuntabilitas dimodel oleh definisi yang tepat tentang the insentive inducing protocol yang berhubungan dengan hasil pengamatan ke hasil pemegang steward. Dalam hal ketidakhadiran protokol, bukti experimen memberi kesan bahwa tindakan sederhana dalam mencatat perubahan steward menciptakan akuntabilitas yang menyebabkan dia memperbaiki perilaku yang baik atas akuntansi ini. Seperti perbaikan perilaku secara sistematis terjadi pada penyelenggaraan kontrak ditentukan dalam hasil dan dapat terjadi dalam ketidakhadiran dari interaksi yang berulang.
            a.   Pendekatan Akuntansi Tradisional terhadap Study Stewardship
            Injiri (1975) mendifinisikan akuntansi sebagai sistem yang didesain untuk memperhalus hubungan diantara kepentingan perusahaan. Injiri mengidentifikasi 3 kelas dari partisipan: Akuntan, orang yang mengukur kinerja ekonomi dan akuntor (steward) adalah orang yang bertanggungjawab terhadap seseorang. Sejak hubungan akuntabilitas diciptakan dengan banyak cara: dengan kontitusi, dengan hukum, dengan kontrak langganan atau kewajiban moral yang sama. Injiri mengklaim”...ini tidak akan menjadi pernyataan yang berlebihan untuk menyatakan bahwa kehadiran masyarakat ditemukan dalam jaringan kerja akuntabilitas. Interaksi steward secara tidak langsung dan sering kurang “face to face” communication.

            b.   Pendekatan Alternative bagi Study Stewardship
            Seseorang adalah steward jika ia dipercayakan bersama dengan modal yang lain dan ada kesempatan di masa yang akan datang untuk mengembalikan modal itu. Akuntansi stewardship memperluas sejarah panjang bagi ekonomi dan pertukaran sosial dalam kelompok kecil yang meliputi banyak aktivitas seperti memelihara anak (termasuk memberi kepentingan dari berbagai rasa dalam hidup adalah tidak dapat disangkal, bahwa manusia punya perkembangan mental khusus yang berhubungan dengan pemeliharan, menggunakan dan berhak atas sumbernya). Kita berpendapat bahwa akuntansi stewardship meningkatkan kepercayaan dengan memperluas steward (accountors) dan orang yang mempercayai (accountee’s) agar supaya mengembangkan kepercayaan dan perilaku terpercaya.
            c.   Tinjauan Konsep Stewardship Theory
            Sekitar tahun 1957, pendekatan stewardship telah dipakai sebagai suatu pendekatan untuk menentukan titik berat utama dari suatu laporan keuangan. Hal ini didasarkan pada suatu konsep bahwa manajemen dari suatu perusahaan dianggap bertanggungjawab kepada pemilik perusahaan (Susanto,1994). Selanjutnya Injiri (1975) memperjelas konsep tersebut dengan mengidentifikasi tiga bentuk, dalam hubungan akuntabilitas (pertanggungjawaban keuangan perusahaan), yaitu keberadaan Accountant, Accoutee, dan Accountor. Ketiga partisan tersebut saling berinteraksi dalam suatu jaringan akuntabilitas. Accountant adalah pihak yang mengukur kinerja ekonomi, Accountee (steward) yaitu pihak yang bertanggungjawab, dan Accountor (principal) pertanggungjawaban diberikan atas apa yang telah dikerjakan dalam organisasi tersebut.
            Stewardship Theory diperkenalkan sebagai teori yang berdasarkan tingkah laku, prilaku manusia (behavior), pola manusia (model of a man), mekanisme psikologis (motivasi, identifikasi dan kekuasaan) dalam sebuah organisasi yang mempraktikan kepemimpinan sebagai aspek yang memainkan peranan penting bagi sebuah pencapaian tujuan. Teori ini berakar dari ilmu psikologi dan sosiologi yang mengarah pada sikap melayani (steward) (Donalson dan Davis, 1989-1991).
            Stewardship merupakan suatu pandangan baru tentang mengelola dan menjalankan organisasi, suatu pergeseran pendapatan pada konsep kepemimpinan dan manajemen yang ada sekarang dari konsep mengendalikan dan mengarahkan, ke arah konsep pengaturan, kemitraan dan kepemilikan secara bersama oleh anggota atau tim dalam organisasi, yang merasa organisasi menjadi sesuatu miliknya ataupun satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari diri sendiri.
            Lebih jauh Donaldson dan Davis menggambarkan bahwa Stewardship Theory didefinisikan sebagai situasi dimana para steward tidak mempunyai kepentingan pribadi tetapi lebih mementingkan kepentingan prinsipal. Kondisi ini didasari sikap melayani yang demikian besar dibangun oleh steward. Sikap melayani sebagai suatu sikap yang menggantikan kepentingan pribadi dengan pelayanan sebagai landasan bagi pemilikan dan penggunaan kekuasaan (power). Dengan mengintegrasikan kembali pengurusan pekerjaan, pemberdayaan, kemitraan dan penggunaan kekuasaan dengan benar, maka tujuan individu secara otomatis terpenuhi dengan sendirinya. Steward percaya bahwa kepentingan mereka akan disejajarkan dengan kepentingan perusahaan dan pemilik (prinsipal).
            Masing-masing pihak bersedia mempertaruhkan perbedaan kelas dan hak istimewa yang menjadi simbol eksistensi mereka dalam mengejar penghayatan rangkaian nilai-nilai dan menciptakan sikap pro organisasional dan rasa memiliki yang tinggi untuk memperoleh manfaat yang ditujukan langsung kepada organisasi dan tidak untuk tujuan individu, sehingga tercipta lingkungan kerja dimana setiap anggota organisasi berpikir dan bertindak seperti seorang pemilik yang senantiasa menjaga dan berorientasi pada tujuan organisasi jangka panjang.
            Stewardship Theory ini mengasumsikan hubungan yang kuat antara kesuksesan organisasi dengan kinerja perusahaan, sehingga fungsi utilitas akan maksimal. Asumsi penting dari stewardship adalah pengelola meluruskan tujuan sesuai dengan tujuan pemilik. Pengelola akan berperilaku sesuai kesepakatan dan kepentingan bersama. Ketika terjadi benturan antara kepentingan dua pihak tersebut, steward akan berusaha bekerja sama daripada menentangnya karena steward merasa kepentingan bersama menjadi lebih utama dan berperilaku sesuai dengan perilaku pemilik merupakan pertimbangan yang rasional karena steward lebih melihat pada usaha untuk mencapai tujuan organisasi dan bukan tujuan individu. Namun demikian tidak berarti steward tidak mempunyai kebutuhan hidup. Untuk mempraktekkan pendekatan ini, kunci utama terletak pada prinsipal, apakah prinsipal benar-benar dapat meyakini dan mempercayai steward yang dipilihnya dalam membangun kemitraan organisasi tersebut.
            Apa yang ada dalam pendekatan model stewardship ini, kontradiksi dengan pendekatan model agency theory. Teori agensi mengindikasikan adanya hubungan yang tidak harmonis antara pengelola dan pemilik, karena sesuatu hal harus dituangkan dalam bentuk kontraktual formal kedua belah pihak. Teori keagenan mengasumsikan masing-masing pihak selalu ingin memaksimalkan manfaat kepentingan individu. Karena adanya perbedaan kepentingan tersebut, prinsipal hanya mendelegasikan beberapa otorisasi pembuatan keputusan kepada agen (Tjahyono,1995). Hubungan keagenan ini memerlukan spesifikasi insentif (reward), monitoring dan pembatasan hubungan yang bermuara pada minimalisasi agency cost. Sementara kontrak kerja yang dibuat antara agen dan prinsipal menimbulkan beberapa permasalahan antara lain terjadinya ketidakseimbangan informasi (asimetrys information) dan penyimpangan moral yang dilakukan oleh agen (moral hazard).
            d.   Aspek Keperilakuan dalam Stewardship Theory
            Dalam bagian ini menunjukkan asumsi berdasarkan model non korperatif dari suatu perilaku dan perdebatan tentang bagaimana batasan-batasan model ini dapat diatasi dengan penggabungan secara timbal balik. Garis besar asumsi berdasarkan model non korporatif pada stewardship. Apabila tidak ada faktor yang dapat dipercaya dalam teori stewardship, asumsi-asumsi berikut ini secara umum dapat digunakan:
  1. Self interest, sebagai contoh fungsi individu hanya tergantung pada konsumsinya sendiri.
  2. Non satifacation, sebagai contoh, individu dapat selalu menambah utiliti dengan kenaikan konsumsi, dan
  3. Contless domain independent cognition, sebagai contoh, hubungan antara tindakan agen dan utilitinya dipahami tanpa memperhatikan keruwetan hubungannya.
      Berdasarkan asumsi-asumsi diatas, pembuat keputusan sering diasumsikan tidak mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah-masalah secara optimal, atau dalam penggabungan informasi menggunakan Teori Bayes. Sebagai tambahan, dalam mengasumsikan pilihan individual, current models sering memasukkan asumsi-asumsi tambahan sebagai strategi bagaimana perilaku individu memperluas penyelesaian kelompok.
      Organisasi yang kompleks berdasarkan pendekatan manusiawi adalah merupakan hasil adaptasi beberapa tahun yang lalu. Dihipotesiskan bahwa masalah -masalah tidak hanya diselesaikan oleh adanya perubahan biologi dan neurologi tapi juga adaptasi dalam kesadaran sosial. Manusia mempunyai kekhususan dan pengertian yang sangat tinggi untuk membangun mekanisme perlakuan dengan masalah sosial sering juga diterapkan dalam kerjasama.
      Beberapa pengukuran biasanya berhubungan dengan dua masalah yaitu kekurangan dan kontaminasi. Lebih baik menggunakan lebih dari satu pengukuran prestasi, karena pengukuran ganda dapat mengurangi kekurangan dan karena efek kontaminasi harus dihubungkan untuk membedakan area sehingga lebih jelas. Ukuran yang cocok harus ditentukan untuk memperkirakan bagaimana prestasi aktual itu dikatakan baik. Misalnya, semua divisi diharapkan untuk mencapai ROI yang sama, jika standar ini digunakan bagaimana mereka ditentukan kapan individu akuntansi digunakan bersiap-siap menghadapi standar yang mana hasil tidak dapat dimonitor, hal ini biasa digunakan informasi budget untuk menyusun standar. Konsekuensi-konsekuensi standar budget agar prestasi manajer tampak baik:
  1. Budget standar dibuat tampaknya menantang
  2. Informasi akuntansi yang dilaporkan dimanipulasi agar prestasi manajer tampak baik.
  3. Perilaku manajer akan dirubah yang menimbulkan kerugian, karena ia memaksimumkan angka akuntansi (kepentingannya sendiri daripada kepentingan organisasi secara menyeluruh dan baik).
      Idealnya masing-masing karyawan harus diinformasikan tingkat prestasi yang harus disempurnakan. Dalam kasus penyelesaian pekerjaan, seperti manajemen devisional, interval pelaporan akan seimbang dengan evaluasi manajer akan selalu sering ketika ia merasa terancam dan merasa terlalu jarang jika ia mendapatkan waktu tidak tepat untuk umpan balik atau pengakuan dari perbaikan.
      Sentral isue dalam sistem reward adalah distribusi penghargaan sehingga mereka mempunyai dampak positif terhadap motivasi individu untuk ambil bagian dan berusaha pada aktivitas yang diinginkan oleh manajemen puncak organisasi agar menciptakan sistem penghargaan yang efektif, merupakan suatu yang mendasar bila organisasi memiliki sistem penghargaan yang efektif untuk memperkirakan prestasi karyawan. Jika sistem penilaian prestasi tidak masuk akal atau tidak valid, penghargaan yang didistribusikan atas dasar tersebut akan langsung rusak dan sedikit berdampak pada motivasi.

IV. KESIMPULAN
      Berdasarkan definisi bahwa Agency Theory merupakan suatu teori yang menjelaskan hubungan antara dua pihak yaitu principal dan agen, sedangkan Stewardship Theory merupakan teori yang menggambarkan situasi dimana para manajer atau eksekutif sebagai steward untuk bertindak sesuai keinginan principal.
      Model yang dipilih agen dan principal dalam pengambilan keputusan ada empat macam:
a.       Minimalisir biaya potensial
b.      Agen bertindak oportunistik
c.       Prinsipal bertindak oportunistik
d.      Memaksimalkan kinerja potensial
      Beberapa proposisi yang diusulkan berhubungan dengan faktor-faktor psikologis dan sosiologis dalam penggunaan Stewardship Theory:
§  Orang yang memiliki dimotivasi oleh tingginya kebutuhan kemungkinan besar menjadi steward dalam hubungan principal steward dibandingkan dengan yang tidak dimotivasi oleh tingginya kebutuhan.
§  Orang yang dimotivasi oleh faktor intrinsik kemungkinan besar menjadi steward dalam hubungan dengan principal / steward dibandingkan dengan yang dimotivasi oleh faktor ektrinsik.
§  Orang yang mempunyai pengenalan yang tinggi dengan organisasi, kemungkinan besar menjadi steward dalam hubungan dengan principal / steward dibandingkan dengan pengenalan yang rendah dengan organisasi.


DAFTAR PUSTAKA

Anthoni, Denda Bedford, Management Control System, Erlangga, Jakarta, 1990.

James H. Davis, F. David Scoorman dan Lex Donalson, Toward a Stewardship Theory of Management, Academy of Management Review Vol. 22, No. 1, page 22-47, 1997.

John W. Dichaut and Kevin A. Mc. Cabe, The Behavioral Foundation of Stewardship Accounting and a Proposed Program of Research : What is Accountability?, Behavioral Research in Accounting Vol. 9, page 60-87, 1997.

Lex Donaldson and James H. Davis, Stewardship Theory or Agency Theory : CEO Governance and Shareholder Returns, Australian Journal of Management, Vol. 16, page 49-64, 1 June 1991.

Vernon Kam, Accounting Theory, California State University Haywand, California, 1989.

TEORI KONTINJENSI, SISTEM PENGENDALIAN MANAJEMEN, OUTCOME PERUSAHAAN , PRESTASI DAN RAMALAN


PENDAHULUAN
Tujuan artikel ini adalah untuk menguji keterkaitan teori kontinjensi dengan sistem pengendalian manajemen.  Fokus dari artikel ini adalah pengendalian di tingkat manajjer (yaitu : pusat laba, divisi dan para manajer unit bisnis strategis).  Pengendalian manajemen di gambarkan sebagai pengendalian manajer terhadap manajer lain.  Hal tersebut adalah proses dimana para manajer tingkat perusahaan memastikan bahwa para manajer tingkat menengah menyelesaikan strategi dan tujuan organisasi (merchant, 1989).  Pengendalian dapat diterapkan pada berbagai tingkat dalam suatu organisasi dan pengendalian yang dibutuhkan mungkin berbeda di antara tingkat tersebut.  Riset terdahulu telah menemukan perbedaan sistematis antara pengendalian di tingkat perusahaan, tingkat manajer dan tingkat operasiona (Ansari, 1977, Anthony, 1965, Walsh dan Seward, 1990).  Pengendalian tingkat perusahaan berlaku bagi CEO dan pimpinan yang lain dalam perusahaan.  Pengendalian operasional diterapkan pada eselon yang lebih rendah dalam organisasi untuk memastikan kinerja mereka. Issue pengendalian di tingkat perusahaan dan tingkat operasional berbeda secara significan dari isu pengendalian manajerial (Anthony, 1965).  Sebagai contoh, pengendalian manajerial cenderung untuk memusatkan perhatian padsa ukuran keuangan di banding penegndalian di tingkat operasional yang cenderung lebih jarang (Atkinson et. Al., 1997).
Walaupun banyak para eksekutif perusahaan ingin untuk membuat semua keputusan secara terpusat, hal tersebut tidak tidak mungkin dilakukan, sebab manajer sering mempunyai akses yang lebih baik terhadap informasi yang relevan dengan keputusan dibanding level eksekutif.  Oleh karena itu banyak keputusan bisnis dibuat di level organisasi yang lebih rendah (Arrow, 1964). Pengendalian efektif mendorong para manajer utnuk membuat keputusan yang memenuhi tujuan organisasi. Tanpa penegndalian sesuai, para manajer mungkin membuat keputusan yang merugikan perusahaan sebab tujuan pribadi mereka mungkin berbeda dengan tujuan perusahaan, mereka mungkin tidak memahami apa yang diharapkan dari mereka, atau tugas yang dibebankan di luar kemampuan tau ketrampilan mereka (Alchian Dan Demsetz, 1972). Pengendalian terpisah dari aspek perencanaan.  Perencanaan menentukan tujuan sedangkan pengendalian mencoba untuk memotivasi karyawan untuk mencapai tujuan perusahaan. 

TEORI PENGENDALIAN KONTINJENSI
Teori kontinjensi membantah bahwa desian dan penggunaan sistem pengendalian adalah kontinjensi, terhadap konteks pebgaturan yang organisasi dimana pengendalian di operasikan.  Suatu titik temu antara sistem pemgendalian dan variabel kontinjensi kontekstual dihipotesakan untuk meningkatkan kinerja organisasi (individu).  Teori kontinjensi muncul sebagai jawaban atas pendekatan yang universalistics yang membantah bahwa desainpengendalian yang optimal dapat diterapkan dalam perusahaan secara keseluruhan.  Pendekatan pengendalian yang universalistics adaaalah perluasan teori manajemen ilmiah yang alami.  Prinsip manajemen ilmiah menyiratkan satu cara terbaik untuk mendesai proses operasional dalam rangka memaksimalkan efisiensi. Secara nyata Copley, (1923) menyatakan bahwa pengendalian adalah yang pusat gagasan dari manajemen ilmiah.  Perkembangan prinsip operasional ini ke sistem pengendalian manajemen menyiratkan bahwa harus ada satu sistem pengendalian terbaik yang memaksimalkan efektivitsa manajemen dan hanya stu setting kontinjensi.  Banyak dari model portofolio dalam perumusan dam implementasi strategi didasarkan pada pandangan yang universalistic tersebut. Dengan bukti empiris hubungan pengendalian kontinjensi, pandangan yang universalistic tidak nampak seperti uraian sistem pengendalian yang sah.  Pada sisi lainyang ekstrim, pendekatan situation-specific membantah bahwa faktor yang mempengaruhi sistem pengendalian adalah sedemikian unik sehingga aturan umum model tidak bisa diterapkan. Peneliti dipaksa untuk mempelajari masing-masing perusahaan dan sistem pengendalian secara individu dan para pndukung dasar pemikiran ini cenderung untuk melakukan riset kasus.
Pendekatan kontinjensi diposisikan di antara kedua ekstrim ini.  Menurut teori kontinjensi, kelayakan dari sistem pengendalian yang berbeda tergantung pada setting bisnis tersebut. Bagaimanapun, berlawanan dengan model situation-spesific, generalisasi sitem pengendalian dapat dibuat untuk bisnis secara luas.

Variabel Kontinjensi
Mengembangkan suatu model kontinjensi memerlukan suatu basis yang membagi setting kompetitif ke dalam kelas terpisah, dan ada pekerjaan kecil untuk mengindetifikasi variabel kontinjensi yang relevan. Suatu variabel kontinjensi terkait dengan level (dimana binis yang berbeda pada variabel itu juga memperlihatkan perbedaan utama bagaimana atribut pengendalian atau tindakan berhubungan dengan kinerja.  Dalam menentukan strategi, hofer (1975) memperkenalkan 54 faktor kontinjensi mungkin, dimana masing-masing faktor yang diasumsikan hanya mempunyai dua kemungkinan nilai.  Ia menyatakan bahwa hal ini mengakibatkan 18 milyar pengaturan yang mungkin dibuat.  Sebagai jawaban atas masalah ini, ia berspekulasi bahwa beberapa variabel kontinjensi mendominasi variabel kontinjensi yang lain.  Yang disayangkan hanya sedikit bukti yang menunjukkan adanya dominasi antar variabel kontinjensi, dan riset pengendalian akuntansi hanya menguji suatu subset kecil dari 54 varianel konijensi Hofer (1975).  Kebanyakan variabel kontinjensi tercakup dalam studi empiris pengendalian yang telah terpilih dalam suatu basis khusus.
Gambar 1 menunjukkan faktor kontinjensi dari berbagi studi terdahulu tentang pengendalian manajemen. Katagori yang pertama terdiri dari variabel yang berhubungan dengan ketidakpastian. Sumber ketidakpastian yang utama meliputi tugas dan ketidakpastian lingkungan eksternal.  Ketidakpastian tugas adalah  suatu fungsi dari tindakan seorang manajer untuk mendapatkan hasil yang diharapkan (Hirst, 1981).  Ketidakpastian tugas serupa dengan pengetahuan proses perubahan bentuk yang digambarkan oleh Ouchi (1977).  Jika suatu penilai memahami proses mengubah masukan ke dalam keluaran, penilai dapat menetapkan tindakan yang diperlukan oleh yang dievaluasi dan ini menyiratkan bahwa pengetahuan proses perubahan bentuk adalah tinggi.  Berbagai kata sifat yang diusulkan oleh peneliti untuk menggambarkan lingkungan yang eksternal terutama yang berkaitan dengan ketidakpastian. Berbagai dikotomi digunakan utnuk menggambarkan lingkungan eksternal seperti : tertentu vs tidak-pasti, statis vs dinamis, sederhana vs kompleks dan tenang vs turbulent. Sebagai tambahan, variabel makro dari ketidakpastian lingkungan mempunyai banyak segi yang mendasari.  Sebagai contoh, hubungan dengan pelanggan, para penyalur, pasar, pekerjaan dan para petugas pemerintah semua mempunyai dampak terhadap ketidakpastian lingkungan.
Katagori yang kedua terdiri dari variabel kontinjensi, berhubungan dengan interdependensi dan tehnologi perusahaan.  Hal ini meliputi definisi tehnologi yang dikembangkan oleh Woodward (1965) dan perrow (1967) membagi teknologi ke dalam batch kecil, batch besar, memproses tehnologi dan katagori produksi massal.  Menurut Perrow (1967) definisi teknologi didasarkan pada banyaknya pengecualian dalam memproses produk atau jasa memproses dan sifat alami dari proses ketika pengecualian ditemukan.  Sebagai tambahan, Thomson (1967) membantah bahwa salah satu komponen kunci tehnologi perusahaan adalah saling ketergantungan antara subunit perusahaan tersebut.  Pooled, sequential dan saling ketergantungan timbal balik adalah katagori yang khas dalam kerangka ketergantungan ini (Fisher, 1994).
Kategori yang ketiga terdiri dari industri, perusahaan dan variabel unit bisnis seperti ukuran, diversifikasi dan struktur. Studi industri sudah menguji pengendalian pada pabrikasi, jasa keuangan serta riset dan pengembangan perusahaan.  Diversifikasi mengacu pada tingkat keanekaragaman dalam suatu lini produk dan atau struktur perusahaan.  Struktrur perusahaan telah dichotomikan antara multi-divisional (M-Form) dan fungsional (U-Form) Perusahaan (Hoskisson et Al, 1990). Seperti dicatat oleh Hofer (!(&%), ada banyak orang variabel potensial dalam perusahan, industri dan Unit Bisnis Strategis (SBU) kategori.
Kategori variabel kontinjensi yang keempat meliputi strategi persaingan dan misi. Kebanyakan riset strategi kontinjensi telah memusat pada klarifikasi yang telah diusulkan oleh Porter’s (1980), Miles dan Snow (1978) dan daur hidup produk klarifikasi Porter’s (1980) adalah biaya rendah, pembedaan dan fokus startegi persaingan. Miles dan Snow (1978) mengklarifikasikan unit bisnis kedalam pembela/pelindung, penyelidik dan kategori penganalisis. Kebanyakan riset pengendalian kontinjensi terpusat pada perbedaan antara penyelidik dan pembela/pelindung (Simon, 1987). Klarifikasi Daur hidup produk terdiri dari membangun, [memegang/menjaga], memanen dan kategori strategi divest.
Kategori lain yang telah diuji literatur pengendalian adalah faktor observability. Variabel ini mula-mula diusulkan oleh Thomson (1970) dan kemudian oleh Ouchi (1977) dan yang lain (Rockness and Shields, 1984). Seperti dicatat oleh ahli teori organisasi dan agen, dalam evaluasi kinerja, suatu isyarat dari seorang pekerja atau unit bisnis diukur, dievaluasi dan dikompensasi. Isyarat mengukur dapat dari tindakan karyawan dan dari hasil tindakan. Peneliti terdahulu menyiratkan perilaku mengendalikan, yang belakangan menyiratkan pengendalian keluaran. Observabillitas (tentang perilaku atau hasil) menyiratkan pengendalian itu dapat ditempatkan hanya pada variabel yang kelihatan oleh penilai tersebut.
Daftar kontinjensi tidak harus dipertimbangkan menyeluruh karena tidak semua faktor kontinjensi dapat diidentifikasi. Peneliti Strategi sudah mendaftar banyak faktor kontinjensi yang mungkin mempengaruhi implementasi strategi .( Hambrick Dan Lei, 1985 ; Hofer 1975). Variabel yang sama ini mungkin juga mempengaruhi efektivitas sistem pengendalian. Sebagai tambahan hubungan antar variabel kontinjensitidak dipahami dengan baik. Sebagai contoh ketidakpastian dalam lingkungan eksternal adalah suatu variabel kontinjensi yang sangat luas dan mungkin berhubungan dengan beberapa faktor kontinjensi lain. Dalam dukungan terhadap pernyataan ini, Fisher dan Govindarajan (1993) membuat hipotesa bahwa strategi yang terpilih oleh suatu unit bisnis strategi (SBU) akan mempengaruhi tingkat ketidakpastian lingkungan eksternal yang dihadapi SBU tersebut.

SISTEM PENGENDALIAN MANAJEMEN
Pengendalian digunakan untuk menciptakan kondisi yang memotivasi organisasi tersebut untuk mencapai hasil diiinginkan atau yang ditetapkan terlebih dahulu. Salah satu kesulitan dalam mendiskusikan sistem pengendalian manajemen adalah kerancuan dan pertentangan dalam melukiskan suatu sistem pengendalian.  Oleh karena itu banyak definisi pengendalian maka sulit membandingkab dan mengintegrasikan studi pengendalian.  Pengendalian organisasi tekah digambarkan sebagai tindakan atau aktifitas yang diambil untuk mempengaruhi agar orang bertindak sesuai dengan tujuan organisasi (Flamholtz, 1983).  Dalam definisi ian yang luas ini, banyak atribut organisasi dapat dipertimbangkan untuk pengendalian terkait. Yang lain berargumentasi bahwa pengendalian memusat pada dua pertanyaan berikut : Apakah (1) strategi diterapkan seperti yang direncanakan, dan (2) hasil yang diproduksi sesuai dengan yang diharapkan (Schreyogg dan Steinmann, 1987).
Giglioni dan Bedein (1974) menyatakan bahwa pengendalian  dalam organisasi yang kompleks terdiri atas dua jenis.  Satu jenis mengarahkan para bawahan dalam aktivitas mereka.  Hal tersebut diterapkan secara terbuka, dengan program dan prosedur operasi baku.  Sebagai tambahan, pengendalian jenis ini digunakan melalui struktur perusahaan, kultur perusahaan dan kebijakan sumber daya manusia (perekrutan, keterampilan dan kebijakan penghentian).  Sebagai contoh, struktur perusahaan dapat dipandang sebagain suatu proses kerjasama dalam pengawasan dengan kelompok individu untuk mencapai tujuan yang memerlukan usaha hubungkan (Otley dan Berry, 1980).
Jenis pengendalian yang kedua adalah cybernetics dan banyak pengarang membantah pengawasan formal itu harus cybernetics secara alami (Green dan Weish, 1988).  Cybernetics digambarkan sebagai suatu sistem dimana standar penilaian kinerja ditentukan, sistem pengukuran kinerja ditetapkan, prbandingan dibuat antara standar, umpan balik dan kinerja aktual kemudian informasi disediakan untuk menjelaskan perbedaan tersebut.  Reeves dan Woodward (1987) juga membantah bahwa sistem pengendalian harus mempunyai cybernetics properties  :
Dalam literatur yang berkenaan dengan perilaku keorganisasian ada kerancuan dalam penggunaan kata mengendalikan.  Kebingungan muncul sebagian besar disebabkan karena pengendalian dapat juga berarti mengarahkan.  Pengendalian dengan tepat digambarkan semata-mata untuk memastikan bahwa aktivitas dilakukan untuk mencapai hasil yang diinginkan.  Pengendalian dalam hal ini terbatas pada monitoring hasil aktivitas, meninjau ulang informasi umpan balik tentang hasil, dan jika perlu mengambil tindakan korektif.
Pengendalian cybernetics meliputi sistem insentif dan sistem penganggaran keuangan formal yang mempunyai keterikatan dengan sistem pengendalian tersebut.  Ukuran kinerja yang menggunakan suatu sistem pengawasan formal mungkin meliputi ukuran keuangan seperti pendapatan netto, penghasilan dan target biaya, seperti halnya ukuran tidak keuangan seperti heatcount, jangka waktu siklus, dan penyerahan tempat waktu (fishe, 1992; Mc Kinnon dan Bruns, 1992).  Dalam banyak kasus sistem insentif dihubungkan dengan pengukuran kinerja dan merupakan suatu komponen umpan balik dari sistem pengendalian tersebut.  Literat Pengendalian Kontinjensi didasarkan pada premis bahwa suatu penandingan yang benar anatara faktor kontinjensi dan paket pengendalian perusahaan akan mengahsilkan out come yang diinginkan (yaitu, kinerja lebih tinggi).  Sistem kemudian memberi umpan balik ke strategi masa depan dan keputusan operasional.  Pengulangan umpan balik ini adalah konsistem dengan dugaan bahwa sistem pengendalian dapat mempengaruhi pembelajaran organisasi dan secara interaktif mempengaruhi strategi.

Sistem Pengendalian Cybernetics
Kebanyakan riset akuntansi tentang sistem pengendalian telah difokuskan pada sistem cybernetics, dan pengendalian berdasarkan anggaran keuangan telah menjadi sarana utama untuk sistem ini.  Atribut anggaran dalam riset terdahulu meliputi jumlah partisipasi manajer dalam menentukan anggaran tersebut, kebakuan achievabilas anggaran, apakah revisi kepada anggaran, diijinkan ketika anggaran dibuat, jumlah penyimpangan anggaran, ketegasan tujuan anggaran, frekwensi melaporkan hasil anggaran, dan pertalian antara target dan hasil anggaran.  Atribut Sistem Penganggaran ini juga dapat digunakan untuk sistem pelaporan non keuangan.  Dalam perbandingan dengan sistem penganggaran keuangan, riset yang telah diselesaikan relatif sedikit atas pengendalian cybernetics yang menyertakan ukuran non keuangan.
Dalam banyak perusahaan, sistem insentif menjadi bagian dari proses yang cybernetics karena merupakan suatu kompoenen kunci umpan balik untuk memproses tujuan utama suatu sistem penganggaran yaitu ketetapan informasi yang bermanfaat utnuk monitoring dan memotivasi personil.  Sebagai tambahan, Umapathi (1987) menyatakan bahwa mayoritas perusahaan menggunakan penilaian kinerja anggaran dalam menentukan insentif menejer.  Atribut insentif yang telah diuji kerangka kontinjensi meliputi ukuran-ukuran kinerja tersebut (yaitu, gaji, bonus, pilihan, dll), frekwensi pembayaran, dan tingkat kesubyektifan dalam menentukan insentif.  Sebagai tambahan perusahaan mungkin menyediakan penghargaan non moneter untuk penilaian kinerja anggaran.  Walaupun insentif keuangan hanya satu format penghargaan, riset akuntansi secara eksklusif telah menguji insentif dalam menetapkan umpan balik.  Riset masa depan perlu menguji anggaran untuk memberi  penghargaan selain dari insentif keuangan jangka pendek seperti promosi, retensi, penghentian, dan prestise manajer.

KERANGKA PENGENDALIAN KONTINJENSI
Gambar 2 menunjukkan suatu kerangka pengendalian kontinjensi yang sederhana.  Proses yang ditunjukkan menyiratkan bahwa proses adalah iterative (Simons, 1990). Suatu isu dipecahkan dalam mengembangkan suatu model pengendalian kontinjensi tentang pemahaman bagaimana faktor kontinjensi ditentukan dan ditingkatkan dari waktu ke waktu. Faktor kontinjensi tertentu mungkin ditentukan oleh keputusan manajemen, yang lain mungkin ditentukan secara exogenous.  Pada beberapa titik waktu, organisasi nemilih pasar dimana perusahaan tersebut bersaing dan strategi dalam pasar itu, dan pada dasarnya mampu mengendalikan semua faktor kontinjensi. Bagaimanapun setelah menentukan strategi produk tertentu, banyak faktor kontinjensi tidak lagi di bawah pengendalian langsungorganisasi.  Oleh karena itu, determinasi faktor kontinjensi mungkin menjadi proses interaktive, sebagian dari faktor dipilih oeleh perusahaan,sedangkan yang lain adalah suatu hasil keputusan yang lalu dan faktor eksternal.  Sebagai contoh, tahap daur hidup produktelah dibantah sebagai suatu faktor kontinjensi penting untuk desain sistem pengendalian (Merchant, 1985).  Keputusan tentang untuk menempatkan produk tersebut pada rangkaian daur hidup produk adalah aneka pilihan strategis.  Pemilihan strategi ini mempunyai implikasi untuk variabel kontinjensi lain yang dihadapi  perusahaan tersebut.  Pemilihan strategi persaingan  mungkin secara parsial menentukan tingkst ketidakpastian lingkungan (Govindarajan dan Fisher, 1990).  Berdasarkan isu ini, Hambrick dan Lei (1985) mendiskusikan perbedaan antar lingkungan dan memposisikan faktor kontinjensi.  Bisnis hanya mempunyai sedikit atau tidak ada pengendalian atas faktor lingkungan dan faktor ini membentuk kontek dimana bisnis harus mengembangkan sistem pengendalian.  Manajemen telah dipengaruhi dalam memposisikan variabel dan pada akhirnya akan memilih variabel ini dalam jangka panjang.
Setelah perusahaan menetapkan tujuan dan faktor kontinjensi ditentukan, organisasi kemudian mencoba untuk mencapai tujuan perusahaan.  Perusahaan menggunakan paket pengendalian organisasi dalam upaya mencapai tujuan perusahaan.  Sistem pengendalian cybernetics hanya satu bagian dari total paket pengendalian organisasi.  Penekanan pada unsur-unsur dalam paket ini mungkin mengurangi atau meningkatkan kebutuhan akan kepercayaan pada sistem pengendalian cybernetics.  Banyak faktor sistem pengendalian berdampak pada hasil organisasi dan faktor ini perlu ditempatkan atau dikendalikan secara hati-hati ketika secara empiris teruji hubungan antara variabel pengendalian dan hasil organisasi.  Setelah hasil diukur dan energi reward didistribusikan, informasi ini menjadi umpan balik bagi kerangka kerja dan mungkin berdampak pada keputusan perusahaan dimasa depan.

RISET PENGENDALIAN KONTINJENSI
Walaupun studi kontinjensi telah menyajikan pengertian yang mendalam atas sistem penemdalian, hasilnya belum dikembangkan kedalam suatu teori pengendalian manajemen yang diterima luas (Dent, 1990).  Ada beberapa pertimbangan untuk hasil less-then-devinitive.  Pertama pengendalian cybernetic adalah multidimensional dan menjadi bagian dari suatu total sistem pengendalian organisasi, dan pengalaman terdahulu hanya menguji subset  pengendalian  yang kecil.  Sebagai contoh, sebagian riset empiris terdahulu telah menguji satu sistem pengendalian tepat waktu.  Pendekatan menghasilkan riset yang mudah dikerjakan tetapi menyebabkan kesukaran dalam menginterprestasikan dan mengintegrasikan hasilnya kedalam suatu kerangka terpadu.  Jika pertalian antara sistem itu dan mekanisme pengendalian yang lain tidak cukup, pengendalian mungkin tidak akan memenuhi fungsinya sesuai dengan yang diharapkan.  Sebagai contoh, asumsikan bahwa ada dua mekanisme pengendalian berbeda yang mungkin diaktifkan untuk menjangkau suatu tujuan strategis tertentu.  Peneliti mungkin membuat hipotesa bahwa satu mekanisme pengendalian akan digunakan ketika tahapan suatu faktor kontinjensi ditentukan.  Bagaimanapun, banyak dari perusahaan sempel mungkin menggunakan mekanisme pengendalian lain dalam rangka mencapai tujuan perusahaan.  Peneliti mungkin sampai pada kesimpulan  yang salah jika sistem pengendaliam lain tidak tercakup dalam analisa tersebut.
Beberapa pengarang sudah menyerapkan bahwa hubungan antara sistem pengendalian dapat diterangkan oleh meta variabel.  Keberadaan meta variabel  yang potensial menyiratkan bahwa hubungan antara organisme pengendalian adalah komplementer dan pengendalian itu akan menguatkan sistem (Merchant, 1985).  Sebagai contoh banyak pengarang sudah membahas perbedaan tersebut antara pengendalian “tight” vs “loose”.  Suatu sistem pengendalian ketat pada umumnya mempunyai target anggaran yang sukar untuk dicapai, tidak mengijinkan revisi target, dan mengijinkan penyimpangan yang kecil atas target.  Jika suatu sitem pengendalian digambarkan sebagai “ketat” semua mekanisme pengendalian yang digunakan adalah “ketat”.  Mete variabel lain yang telah dibahas riset terdahulu meliputi pengendalian obyektif vs subyektif, mekanistis vs organik, jangka pendek vs jangka panjang, interaktif vs terprogram dan administratif vs pengawasan antar pribadi.  Hubungan yang potensial anatar meta variabel ini belum ditetapkan.  Sebagai contoh, suatu sistem komplementer, peneliti lain menyataakan bahwa sistem pengendalian mungkin substitutable (Dant, 1990 ; Ouci, 1977) Sistem substitutable menyiratkan bahwa tidak semua kebutuhan sistem diaktifkan secara serempak dan mungkin ada berbagai pengendalian yang memberikan hasil yang sama bagi perusahaan. 
Kedua alasan untuk mudah dikerjakan. Kebanyakan riset telah menguji hanya satu faktor kontinjensi yang sama. Hal tersebut sukar unutuk membongkar hubungan sebab akibatdan hubungan diantara penggunaan variabel kontinjensi yang digunakan dalam pendekatan ini.  Banyak faktor kontinjensi mungkin punya korelasi yang kecil, yang mungkin menimbulkan konflik kontinjensi.  Berbagai pendekatan kontinjensi mengakui sistem pengendalian harus dikhususkan utnuk berbagai faaktor kontinjen (Gresove, 1989).  Jika permintaan menempatkan sistem pengendalian dengan konflik faktor kontinjensi, prekerjaan menghubungkan sistem pengendalian dengan semua faktor kontinjensi dalam suatu desain secara langsung tidaklah mungkin.  Tarik menarik dalam konflik kontinjensi harus dipertimbangkan dalam rancang sistem pengendalian tersebut.
Ketiga, ketiadaan data base yang ada yang dapat diakses dari tehnik statistik yang canggih membuat kesulitan untuk menguji apapun diluar hubungan yang sederhana.  Kontras dengan area riset lain yang mempunyai data yang relatif mudah dapat diakses, peneliti teori kontinjensi pada umumnya harus membangun data base mereka sendiri.  Menanggulangi daya tahan perusahaan adalah satu rintangan utama dalam mengumpulkan data dengan mengira bahwa data tersebut ada.  Dalam banyak kesempatan, peneliti terpaksa memperoleh data melalui survai yang mungkin punya isu penyimpangan dan keandalan.

Klasifikasi Pengendalian Kontinjensi
Fisher (1995) mengklasifikasikan riset terdahulu berdasarkan tingkat kompleksitas analisa.  Leteratur pengendalian terdahulu dibagi menjadi empat kategori yang tergantung pada kontinjensi, pengendalian, dan variabel hasil yang tercakup studi tersebut.  Walaupun disain riset menjadi lebih rumit seperti peningkatan tingkat analisa, hal ini tidak menyiratkan bahwa suatu analisa tingkat 4 lebih baik daripada analisa tingkat1. Masing-masing tingkat riset mempunyai kelemahan dan kekuatan sendiri.  Gambar 3 menunjukan suatu contoh studi kontinjensi dengan tingkat kompleksitas analisa.  Beberapa studi berisi hasil pada berbagai tingkat.  Studi digambarkan oleh hasil riset yang paling tinggi.  Oleh karena itu, suatu studi yang mencakup hasil pada tingkat 1,2, and 3 akan digambarkan sebagai analisa tingkat 3. bagian yang berikut akan memperkenalkan empat tingkat ini bersama dengan suatu contoh dari tiap tingkat.

Analisa tingkat 1
Dianalisa tingkat 1, satu faktor kontinjensi dihubungkan dengan satu mekanisme pengendalian. Hipotesa yang khas meramalkan bahwa keberadaan suatu faktor kontinjensi akan mengakibatkan suatu peningkatan kemungkinan bahwa perusahaan suatu mekanisme pengendalian tertentu.  Tidak ada usaha yang dibuat untuk mengakses apakah korelasi antara faktor kontinjensi dan  mekanisme pengendalian mempunyai efek pada hasil perusahaan (walaupun kebanyakan dokumen berasumsi bahwa korelasi tersebut mendorong kearah kinerja lebih tinggi) atau jika mekanisme pengendalian dihubungkan dengan mekanisme pengendalain yang lain. Banyak riset terdahulu tentang analisa pengendalian kontinjensi mengikuti desain riset ini. Walaupun analisa ini telah menyajikan pengertian yang mendalam atas sistem pengendalian manajemen, hal tersebut menombulkan keraguan bahwatingkat ini akan menyediakan pengertian yang lebih mendalam kecuali jika variabel kontinjensi baru diketahui.
Suatu contoh dari pendekatan riset adalah penelitian Macintosh dan Daft (1987).  Studi ini mengaji hubungan saling ketergantungan antar departemen dan tiga unsur pengendalian: anggaran operasi, laporan statistik berkala dan prosedur operasi baku. Saling ketergantungan per depertemen telah diterapkan dengan mengacu pada Thomson’S (1967) tentang kerangka pooled, percontohan dan saling ketergantungan timbal balik. Dibawah kondisi saling ketergantungan pooled, departeman menekankan prosedur operasi baku. Departemen secara sekuen saling tergantung menekankan anggaran dan laporan statistik. Depatemen secara berbalasan saling tergantung melonggarkan pengawasan formal dan menekankan lebih pada format hubungan pengendalian. Macintosh dan Daft (1987) menyimpulkan bahwa peran sistem pengendalian mencerminkan suatu kecocokan antara kebutuhan akan informasi yang diciptakan oleh saling ketergantungan dan persediaan informasi yang disajikan oleh sistem pengendalian tersebut.

Analisa tingkat 2
Analisa tingkat 2 dari pengendalian menguji efek hubungan suatu mekanisme pengendalian dan faktor kontinjensi dalam variabel hasil.  Dalam suatu studi yang khas, keberadaan faktor kontinjensi dan mekanisme pengendalian dihipotesakan untuk menghasilkan suatu peningkatan suatu efektifitas (atau ketidakefektifan ).  Simon (1987) menyatakan perbedaan sistem pengendalian yang diuji antara unit bisnis yang memanfaatkan strategi penyelidik atau pendukung tersebut.  Beberapa hipotesa atas studi ini menguji korelasi antara strategi unit bisnis (SBU) dan mekanisme pengendalian ( yaitu; yang mengukur analisa).  Pendukung SBU mendasarkan insentif pada prestasi targetanggaran dan sistem pengendalian adalah statis.  Penyelidik SBU, secara kontras memasang lebih dari arti penting untuk meramalkan data, pengaturan tujuan anggaran ketat, dan monintoring keluaran.  Simon (1987) menemukan suatu penandinagn antara suatu mekanisme pengendalian dan SBU strategi akan mengakibatkan kinerja lebih tinggi.

Analisa tingkat 3
Ditingkat analisa yang ketiga, efek hubungan dari faktor kontinjensi dan berbagai mekanisme pengendalian atas suatu variabel hasil ditujukan (Drazin Dan Van tidak Ven, 1985).  Analisa jenis ini berasumsi bahwa mungkin ada komplementer atau hubungan penggantian antara variabel pengendalian yang mungkin termasuk dalam berbagai mekanisme pengendalian dalam analisa tersebut.  Subtitusi Sistem pengendalian menyiratkan penggunaan mekanisme pengendalian berbeda dapat mencapai hasil ayang sama.  Pada sisi lain, sistem pengendalian komplementer digunakan menguatakan penunjukan beberapa mekanisme pengendalian digunakan dan sistem komplementer digunakan sebagai pengganti tergantung pada faktor kontinjensi perusahaan tersebut dan stategi pengendalian.
Banyak peneliti sudah mencatat kebutuhab akan analisa tersebut, tetapi sedikit hasil empiris yang telah dilaporkan.  Sebagai suatu contoh metodologo ini, Waterhouse Dan Tiessen (1987) menetapkan dua variabel kontektual yangtelah dihipotesakan untuk mempengaruhi desain sistem pengendalian: teknologi dan lingkungan.  Dua variabel itu telah dipertimbangkan akan mempunyai efek mandiri dan terpisah, tetapi pendapat itu tidak diuji.  Artikel ini menggunakan conceptualisasi teknologi yang berbeda dengan Perrow (1967) dan pengukuran teknologi bergerak dari rutin ke nonrutin.  Ketidak pastian lingkungan telah dipetakan pada suatu rangkaian dari yang saling tidak pasti kelingkungan eksternal dapat diramalkan.
Waterhose Dan Tiessen (1978) yang mengasumsikan, organisasi mencoba untuk memusatkan otoritas, menetapkan prosedur dan mempekerjakan pengendalian mekanistis. Jika teknologi perusahaan dikenal dengan baik dan lingkungan dapat diramalkan, suatu sistem pengendalian terpusat akan merupakan halang optimal.  Waterhouse Dan tiessen (1978) memberi sebagai suatu contoh dari sistem pengendalian mekanistis adalah suatu dasar sistem biaya dalam membangun suatu proses penganggaran ketat. Bagaimanapun dibawah 

PENDEKATAN KONTINJENSI
Pendekatan kontinjensi untuk akuntansi manajemen didasari oleh anggapan bahwa tidak ada sistem akuntansi yang tepat secara universal yang dapat digunakan oleh semua organisasi dalam berbagai keadaan.  Sistem akuntansi yang tepat tergantung pada keadaan khusus dimana organisasi tersebut berada.  Oleh karenanya teori kontinjensi harus mengidentifikasikan aspek khusus dari sistem akuntansi perusahaan dimana keadaan dapat didefinisikan dengan pasti dan sistem dapat dicobakan dengan tepat.
Walaupun kerangka kontinjensi adalah hal baru, tapi Hongren pernah mengulasnya tahun 1972, hanya saja Hongren tidak menyediakan panduan mengenai bagaimana desain tanggungjawab bersama ini dijalankan.  Dermer 1977 menyatakan bahwa desain sistem perencanaan dan pengendalian sangatlah spesifik.  Tulisannya tidak untuk menunukkan pada para perancang sistem tentang apa yang harus dilakukan tetapi untuk menunjukkan berbagai kemungkinan fakta yang bisa dilakukan dalam berbagai situasi. 


TIMBULNYA FORMULA KONTINJENSI
Konsep teknologi, struktur organisasi, dan lingkungan diharapkan dapat menjelaskan mengapa sistem akuntansi berbeda untuk suatu situasi dengan situasi yang lain.  Ada dua pengaruh yang menyebabkan timbulnya formula kontinjensi :
  1. Pengaruh hasil penelitian empiris.

Efek Tehnologi
Simple atau tidaknya variable kontinjensi yang digunakan dalam akuntansi manajemen tergantung pada teknologi produksi, unit produksi, besar kecilnya batch, dan jenis produksi massa atau produksi terus menerus.

Efek Struktur Organisasi
Struktur organisasi berpengaruh terhadap bagaimana informasi anggaran digunakan.  Hopwood (1972) membedakan Budget Contrained yang menggunakan informasi akuntansi dengan Profit Conscious.  BC diasosiasikan dengan konsentrasi pada pekerjaan yang sangat tinggi, hubungan yang tidak dekat, dan perilaku menyimpang.  PC lebih fleksibel dan tidak diasosiasikan seperti di atas.

Efek Lingkungan
Faktor lingkungan juga dapat menjelaskan perbedaan penggunaan informasi akuntansi.  Khandwalls (1972) menguji efek tipe persaingan yang dihadapi oleh perusahaan terhadap sistem pengendalian manajemen yang digunakan menemukan bahwa sistem pengendalian manajemen dipengaruhi oleh intensitas persaingan yang dihadapi.
  1. Pengaruh Teori Organisasi

Pendekatan yang saat ini populer yang berpengaruh pada perkembangan teori kontinjensi akuntansi manajemen adalah perkembangan teori kontinjensi dari organisasi.



KERANGKA EVALUASI TEORI KONTINJENSI AKUNTANSI MANAJEMEN

Variabel kontinjensi

Desain organisasi

Tipe sistem informasi akuntansi


Organizational Effectiveness

                                                                                               
KEBUTUHAN MINIMUM KERANGKA KONTINJENSI

Variabel kontinjensi
Variabel yang tidak dapat dipengaruhi oleh organisasi
Tujuan organisasi

Seperangkat pengendalian organisasi
Desain AIS

Desain MIS yang lain

Desain organisasi
Desain pengendalian yang lain

















Variabel intervening








Faktor lain










Organizational Effectiveness

IMPLIKASI PADA PENELITIAN

Akuntansi sebagai bagian dari sistem pengendalian
Studi tentang sistem informasi akuntansi yang efektif  berkembang seiring dengan berbagai studi tentang mekanisme pengendalian yang digunakan organisasi untuk mempengaruhi perilaku anggotanya  dan mempengaruhi hubungannya dengan pihak eksternal.  Otley & Berry (1980) mengidestifikasikan 4 karakteristik dalam proses pengendalian untuk pengendalian organisasi yang efektif ;
  1. Spesifikasi tujuan
  2. Ukuran keberhasilan tujuan
  3. Model peramalan yang mampu menunjukkan outcome dari kegiatan pengendalian
  4. Kemampuan dan motivasi untuk bertindak.

Organizational effectiveness / Efektifitas Organisasi
Penggunaan kerangka kerja pengendalian juga meningkatkan peranan penting dari efektifitas organisasi dan memusatkan perhatian pada sifat dasar dari tujuan  organisasi. Tujuan adalah bagian penting dari kerangka kerja kontingensi namun bukan karena tujuan sendiri adalah variable kontingen yang tampaknya mempengaruhi sifat dasar dari system akuntansi tapi juga yang lebih penting karena tujuan tersebut membentuk standar yang berlawanan yang mana  efek dari konfigurasi pengendalian yang berbeda harus dievaluasi. Istilah tujuan, kinerja dan efektifitas cenderung untuk digunakan sebagai tirai untuk menyembunyikan keitdak jelasan konseptual. Sangat penting untuk ditanyakan tentang sifat dasar tujuan organisasi dan mempelajari proses bagaimana tujuan tersebut dicapai dan oleh siapa tujuan tersebut dapat dipengaruhi.